Keteladanan Tjilik Riwut bagi Generasi Reformasi

Di masa perjuangan Indonesia, banyak tokoh lahir dengan semangat luar biasa untuk membela bangsa. Salah satunya adalah Tjilik Riwut, pahlawan nasional asal Kalimantan Tengah yang bukan hanya dikenal karena kiprahnya di medan perang, tetapi juga karena keteladanannya sebagai pemimpin rakyat. Perannya sangat besar, baik dalam perjuangan merebut kemerdekaan maupun dalam pembangunan daerah setelah Indonesia merdeka. Nilai-nilai yang beliau tunjukkan, seperti cinta tanah air, keberanian, kerendahan hati, pelestarian budaya, dan semangat persatuan, bukan hanya penting pada masanya, melainkan tetap relevan hingga masa kini. Nilai-nilai tersebut bahkan menjadi fondasi yang perlu terus dihidupkan di tengah dinamika globalisasi, modernisasi, serta tantangan bangsa di era reformasi.
Cinta tanah air menjadi kebutuhan mendasar dalam menghadapi arus globalisasi. Kini, banyak generasi muda yang cenderung meniru budaya luar negeri secara berlebihan, sehingga identitas bangsa perlahan tergerus. Padahal, Pasal 32 UUD 1945 dengan tegas menyebutkan bahwa negara wajib memajukan kebudayaan nasional di tengah peradaban dunia. Tjilik Riwut meneladankan hal ini lewat kebanggaan menyebut dirinya “anak Dayak” dan melalui karya-karya tulisnya, antara lain “Makanan Dayak” (1948), “Sejarah Kalimantan” (1952), “Maneser Panatau Tatu Hiang” (1965), dan “Kalimantan Membangun” (1979), yang mendokumentasikan tradisi Kalimantan. Beliau melakukan itu karena keyakinannya bahwa budaya adalah akar dari identitas bangsa. Hal ini sejalan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan yang menegaskan kewajiban negara dan masyarakat untuk melindungi serta mengembangkan warisan budaya. Studi “Upaya Pelestarian Kebudayaan Lokal Kalimantan Barat” menekankan bahwa keberhasilan pelestarian hanya bisa terwujud bila melibatkan pendidikan, penelitian, dan partisipasi masyarakat. Sementara itu, penelitian “Analisis Efektivitas UU No. 5 Tahun 2017” mencatat bahwa pelaksanaan perlindungan budaya masih terkendala fasilitas dan kesadaran masyarakat, sehingga generasi muda memiliki peran strategis untuk menutup celah tersebut. Dengan demikian, teladan Tjilik Riwut menemukan relevansinya, yaitu bahwa generasi muda perlu secara aktif mempelajari, mencintai, dan memperkenalkan budaya lokal melalui berbagai media kreatif seperti film pendek, musik, atau konten digital. Selain itu, keterlibatan langsung dalam kegiatan pelestarian budaya, seperti festival budaya, riset budaya, atau pengabdian di komunitas adat, menjadi langkah konkret untuk menjaga identitas bangsa di tengah arus globalisasi.
Selain kecintaannya terhadap tanah air, nilai keberanian yang ditunjukkan beliau juga tetap relevan, meskipun sekarang wujudnya berbeda dengan perjuangan bersenjata. Dulu, Tjilik Riwut menunjukkan keberanian dengan menembus blokade Belanda demi memperjuangkan kemerdekaan. Kini, keberanian dibutuhkan untuk membela kebenaran, menolak korupsi, melawan berita palsu, hingga memperjuangkan keadilan sosial. Penegasan ini selaras dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih yang mengamanatkan keberanian moral dalam menolak praktik-praktik koruptif. Dalam perspektif teori kepemimpinan modern, nilai ini juga penting. James Kouzes dan Barry Posner dalam The Leadership Challenge menekankan praktik Challenge the Process, yakni keberanian mengambil risiko demi kebaikan bersama. Implementasinya bagi generasi kini bisa berupa keberanian bersuara di ruang publik, melaporkan pelanggaran hukum, dan mendukung kebijakan yang berpihak pada keadilan. Keberanian semacam ini adalah benteng integritas bangsa.
Tak hanya keberanian, kerendahan hati dalam pengabdiannya pun tetap sangat relevan di era modern yang serba cepat. Sikap rendah hati membuat seseorang terbuka untuk belajar, tidak sombong dengan pencapaian diri, dan mau menerima kritik demi kemajuan. Tjilik Riwut mencontohkannya dengan tidak pernah menempatkan dirinya di atas rakyat, melainkan tampil sebagai wakil mereka. Pada 17 Desember 1946, beliau bahkan tampil mewakili 185.000 rakyat Dayak di hadapan Presiden Soekarno untuk menyatakan sumpah setia kepada Republik Indonesia. Hal ini sejalan dengan ajaran Kitab Suci dalam Lukas 22:26: “Siapa yang memimpin, hendaklah ia menjadi seperti yang melayani.” Teladan ini sangat relevan di era reformasi yang menuntut keterbukaan, yaitu bahwa kerendahan hati kini bisa diwujudkan dengan menghargai perbedaan pendapat, rendah hati dalam prestasi, dan berorientasi pada kolaborasi, bukan egoisme.
Lebih dari itu, semangat persatuan juga menjadi warisan berharga dari Tjilik Riwut yang harus terus dijaga hingga kini. Beliau menunjukkan bahwa perbedaan suku, agama, dan budaya dapat dijembatani demi memperkuat bangsa. Relevansi nilai ini jelas terlihat di tengah maraknya polarisasi politik dan konflik identitas di masyarakat. Kitab Suci mengingatkan dalam 1 Korintus 1:10: “Hendaklah kamu seia sekata dan jangan ada perpecahan di antara kamu, tetapi sempurnalah dalam satu pikiran dan satu tujuan.” Dalam konteks kini, persatuan bisa dihidupi dengan mengedepankan dialog, menghormati perbedaan, dan bekerja sama menghadapi tantangan global seperti krisis iklim atau pandemi. Masalah besar tidak akan pernah terselesaikan tanpa persatuan dan kerja sama seluruh elemen bangsa.
Teladan Tjilik Riwut sejalan dengan nilai-nilai Vinsensian, khususnya humilitas (kerendahan hati), mortificatio (mati raga), dan zealus animarum (penyelamatan jiwa-jiwa). Kerendahan hati tercermin dari hidupnya sebagai pemimpin yang merakyat, mati raga terlihat dari kesediaannya menderita dan berkorban demi rakyat, bahkan hingga rela dipenjara, sedangkan penyelamatan jiwa-jiwa diwujudkan melalui keterlibatannya dalam membangun Gereja Katedral Santa Maria Palangka Raya pada saat menjabat sebagai Gubernur Kalimantan Tengah. Nilai-nilai ini selaras dengan 1 Korintus 10:24, “Jangan seorang pun yang mencari keuntungannya sendiri, tetapi hendaklah tiap-tiap orang mencari keuntungan orang lain.” Teladan Tjilik Riwut yang menghidupi nilai-nilai Vinsensian ini tidak hanya meneguhkan iman pribadi, tetapi juga menjadi inspirasi bagi generasi sekarang untuk membangun bangsa dengan sikap sederhana, berintegritas, dan kepedulian yang tulus terhadap sesama.
Melalui perjalanan hidupnya, Tjilik Riwut menunjukkan bahwa perjuangan membela bangsa tidak berhenti pada medan perang, tetapi terus berlanjut dalam wujud pengabdian, kepemimpinan, dan teladan nilai-nilai luhur. Di tengah derasnya arus globalisasi, polarisasi, dan tantangan kebangsaan, Tjilik Riwut hadir sebagai pengingat bahwa kemajuan bangsa hanya dapat dicapai bila kita tetap berakar pada identitas, menjunjung kebenaran, dan mengutamakan kepentingan bersama. Dengan meneladani nilai-nilai yang beliau hidupi, generasi muda dapat melanjutkan perjuangan itu dalam bentuk baru, bukan lagi dengan senjata, melainkan dengan karya, integritas, dan kepedulian nyata bagi sesama dan tanah air.