Menghidupi Teladan Jakob Oetama di Era Digital

Jakob Oetama adalah salah satu tokoh besar yang meninggalkan warisan nilai-nilai luhur dalam sejarah bangsa Indonesia. Lahir dari keluarga sederhana di Magelang dan meniti jalan panjang sebagai guru, wartawan, hingga pendiri Harian Kompas, ia telah menunjukkan bagaimana integritas, kesederhanaan, pelayanan publik, dan humanisme dapat dihidupi dalam dunia profesional sekaligus menjadi teladan moral. Kehidupannya mengajarkan bahwa membangun bangsa tidak selalu harus melalui jalur politik atau perjuangan bersenjata, tetapi juga bisa dilakukan melalui pena, etika, dan dedikasi kepada kebenaran. Pertanyaannya, apakah nilai-nilai tersebut masih relevan dalam situasi masyarakat Indonesia saat ini? Jawabannya jelas: ya. Nilai-nilai itu tidak hanya relevan, melainkan juga semakin mendesak untuk dihidupi dalam era modern yang penuh tantangan.
Relevansi nilai-nilai yang diwariskan Jakob Oetama terlihat jelas jika kita meninjau kondisi masyarakat sekarang. Pertama, integritas jurnalistik yang ia junjung tinggi menjadi kebutuhan mendesak di tengah maraknya penyebaran hoax, disinformasi, dan polarisasi opini di media sosial. Kebenaran yang dahulu diperjuangkan melalui surat kabar kini diuji dalam arus informasi digital yang cepat tetapi tidak selalu akurat. Komitmen Jakob untuk selalu mengedepankan akurasi dan keseimbangan berita adalah nilai yang harus dipelihara, sebab tanpa integritas, masyarakat akan kehilangan arah dalam menentukan sikap. Seperti firman dalam Yohanes 8:32, “Kamu akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu.” Ayat ini menegaskan bahwa kebenaran memiliki kuasa membebaskan, dan dalam konteks modern, kebenaran informasi membebaskan masyarakat dari manipulasi dan kebingungan.
Kedua, nilai kesederhanaan dan kerendahan hati yang ia teladankan menjadi sangat relevan di tengah gaya hidup konsumtif yang semakin mengakar. Banyak pemimpin, baik dalam dunia politik maupun bisnis, tergoda oleh gemerlap kekuasaan dan materi. Jakob menunjukkan alternatif: bahkan saat memimpin konglomerasi media besar, ia tetap menjalani hidup sederhana dan rendah hati. Nilai ini sejalan dengan prinsip kepemimpinan dalam Matius 20:26–28 yang menegaskan bahwa “Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu.” Dalam masyarakat yang sering mengukur keberhasilan dari kekayaan atau jabatan, Jakob justru menunjukkan bahwa kesederhanaan dan pelayanan adalah ukuran keagungan yang sejati.
Ketiga, pelayanan publik yang ia wujudkan melalui pers sebagai sarana pendidikan masyarakat sangat relevan dalam konteks demokrasi Indonesia saat ini. Pers bukan sekadar penyampai berita, tetapi juga pendidik bangsa yang membantu masyarakat memahami persoalan publik. Teori fungsi sosial media massa menyebutkan bahwa media memiliki peran informatif, edukatif, dan kontrol sosial. Jakob memahami hal ini dan menjadikannya fondasi bagi Kompas. Kini, ketika demokrasi menghadapi tantangan berupa menurunnya kepercayaan publik terhadap institusi negara, keberadaan media yang berkomitmen pada pelayanan publik menjadi sangat penting sebagai pengimbang kekuasaan dan penyambung suara rakyat.
Keempat, humanisme atau penghormatan terhadap martabat manusia menjadi nilai universal yang semakin dibutuhkan di era modern. Ketika persaingan global sering menyingkirkan mereka yang lemah, nilai humanisme mengingatkan kita bahwa pembangunan harus berorientasi pada manusia, bukan sekadar pada pertumbuhan ekonomi. Spiritualitas Vinsensian yang menekankan pelayanan kepada mereka yang miskin dan tersisih juga tercermin dalam sikap Jakob. Media yang ia bangun sering memberi ruang bagi isu-isu sosial, ketidakadilan, dan suara kaum marginal. Nilai ini semakin penting dalam masyarakat saat ini, di mana kesenjangan sosial masih menjadi masalah utama bangsa.
Pertanyaan berikutnya adalah: mengapa nilai-nilai tersebut masih relevan? Relevansinya muncul karena tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia tidak jauh berbeda dengan yang dihadapi pada masa Jakob hidup, hanya bentuknya yang berubah. Jika dulu pers harus menghadapi tekanan politik dan sensor, kini tantangan datang dari banjir informasi digital yang sering menyesatkan. Jika dulu pembangunan ekonomi menuntut pengorbanan demi stabilitas, kini kita menghadapi ancaman kesenjangan sosial yang makin lebar. Semua tantangan ini membutuhkan jawaban moral yang bersumber dari nilai-nilai seperti integritas, kesederhanaan, pelayanan publik, dan humanisme. Tanpa itu, bangsa berisiko terjebak pada pragmatisme yang hanya mengejar keuntungan jangka pendek.
Lalu bagaimana mengimplementasikan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan masyarakat sekarang? Pertama, dalam bidang media dan komunikasi, integritas jurnalistik harus dijaga dengan memperkuat literasi media masyarakat. Pemerintah, lembaga pendidikan, dan media massa perlu bekerja sama agar masyarakat mampu memilah informasi yang benar dan menolak hoaks. Kedua, nilai kesederhanaan dapat ditanamkan melalui pendidikan karakter sejak dini, di mana anak-anak diajarkan untuk menilai keberhasilan bukan dari materi semata, melainkan dari kontribusi nyata bagi sesama. Ketiga, pelayanan publik dapat diwujudkan melalui kebijakan negara yang berpihak pada rakyat kecil serta komitmen profesi apapun untuk menempatkan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi. Keempat, nilai humanisme bisa diimplementasikan dalam bentuk program sosial, kebijakan perlindungan kelompok rentan, hingga etika bisnis yang tidak hanya mengejar profit, tetapi juga keberlanjutan dan kesejahteraan manusia.
Fakta menunjukkan bahwa implementasi nilai-nilai ini bukanlah hal utopis. Undang-Undang Pers No. 40 Tahun 1999 menegaskan bahwa pers memiliki fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial. Artinya, secara hukum pun nilai pelayanan publik yang diperjuangkan Jakob sudah diakui. Di sisi lain, berbagai tokoh dan ahli komunikasi menyatakan bahwa integritas adalah modal utama bagi media dalam menjaga kepercayaan publik. Demikian pula, ajaran Kitab Suci dan spiritualitas Vinsensian yang menekankan kebenaran, kesederhanaan, dan pelayanan, menjadi dasar normatif bahwa nilai-nilai ini bukan hanya ideal, tetapi juga kewajiban moral.
Pada akhirnya, warisan nilai Jakob Oetama masih sangat relevan dan bahkan semakin penting untuk menjawab tantangan zaman. Di tengah derasnya arus digitalisasi, konsumerisme, dan krisis kepercayaan terhadap institusi, bangsa ini memerlukan teladan yang nyata. Jakob memberi teladan itu, bukan melalui pidato besar atau aksi heroik di medan perang, tetapi melalui kerja konsisten, integritas tanpa kompromi, serta pelayanan yang rendah hati. Nilai-nilainya adalah fondasi moral yang bisa menuntun masyarakat menuju kehidupan yang lebih adil, bermartabat, dan berkeadaban. Dengan menghidupi nilai-nilai tersebut, bangsa Indonesia dapat terus melangkah maju tanpa kehilangan arah dan jati diri.
Anggota kelompok:
Brendon Jefferson Santoso XII A3/03
Eksello Jabur Diabri XII A3/08
Fabian Miguel Eddy XII A3/09
Gavrila Elaine Kairopan XII A3/10
Jesslyn Felisha Liangcy XII A3/13
Sidney Timothy Putra Maryadi XII A3/28